Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Featured Posts

  • Selayang Pandang

    من اعتمد على ماله قل, ومن اعتمد على جاهه ذل, ومن اعتمد على عقله ضل, ومن اعتمد على الله لا قل, ولا ذل, ولا ضل.

    Sesiapa orangnya yang bergantung pada hartanya maka dia kekurangan. Dan barang siapa mengandalkan kedudukannya ia akan hina. Dan barang siapa mengandalkan akal pikirannya ia akan sesat. Dan barang siapa mengandalkan pada Tuhannya maka ia tidak akan merasa kekurangan, tidak hina dan tidak tersesat.

  • Profil

    Pondok pesantren Nurul Huda telah berdiri sejak tahun 1958 M. atas prakarsa the founding father Abuya Ahmad Damanhuri bin Arman dan kawan-kawan juga adik-adiknya yaitu:...

  • Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi

    Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi sangat kesohor. Disebut al-Bantani karena ia berasal dari Banten, Indonesia. Beliau bukan ulama biasa, tapi memiliki intelektual yang sangat produktif menulis kitab, meliputi Fiqih, Tauhid, Tasawuf, Tafsir, dan Hadits. Jumlahnya tidak kurang dari 115 kitab....

  • MENGENANG SANG WALI QUTUB (ABUYA DIMYATI)

    Alangkah ruginya orang Indonesia kalau tidak mengenal ulama satu ini. Orang bilang Mbah Dim, Banten atau Abuya Dimyati bin Syaikh Muhammad Amin. Beliau adalah tokoh kharismatik dunia kepesantrenan, penganjur ajaran Ahlusunah Wal Jama’ah dari pondok pesantren,...

Kamis, 13 Desember 2012

Nasyid Iftitah Haflah



نشيد افتتاح الحفلة


مرحبـــا بالقـــــادمين  ~O~  جئــتم إلينــا سالمــــين
بقدومـــكم متشــكرين  ~O~  بعد غيابـــــــكم سنــين ٢×

ببركـة الله ذاهبـــــــين  ~O~  وبفضــله متنعمـــــين
قمنـــا لـــكم محترمين  ~O~  رجعـتم منــا غانمــــين ٢×

ومرحبـا أهلا بـــــــكم  ~O~  بوصولكم متصافحين
شرفتمــوا مجلسنــــــا  ~O~  بفضل ربنــا الععــــين ٢×

وقـــد بدت سرورنـــا  ~O~  بحضوركــم مستمعين
وبدعوة منا لــــــــــكم  ~O~  جئـــتم إلينــــا وافـــدين ٢×

وانفرجت هـــــتمومنا  ~O~  بلقـــــآئكم مجتمعــــين
وحضوركم في محفل  ~O~  هذا هو الفتـح المبـــــين ٢×



MDA Nurul Huda


Nasyid Iftitah Haflah

Rabu, 17 Oktober 2012

Keutamaan Bulan Dzulhijjah


Oleh: Ustadz Abdul Qadir bin Ahmad Mauladdawilah

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam; semoga shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan para Rasul, junjungan kita pula Nabi Muhammad SAW beserta segenap keluarga dan sahabatnya, Aamiin.

“Ketahuilah bahwasanya di hari-hari tahunmu ada pemberian-pemberian dari Allah, maka hadanglah (sambutlah) pemberian-pemberian tersebut (dengan melakukan amal kebaikan).”

Allah Ta’ala telah menganugerahkan kepada kita musim-musim yang penuh dengan rahmat agar kita bisa memperbanyak amalan-amalan saleh di dalamnya. Hal tersebut sebagai bonus bagi kita sebagai umat Nabi Muhammad yang berumur lebih muda dan lebih pendek jika di bandingkan dengan umur umat-umat sebelumnya.

Umur merupakan modal utama bagi manusia dalam menjalankan ibadah. Ketika umur telah habis maka selesai pula waktu untuk beribadah dalam rangka mengumpulkan bekal yang dipergunakan dalam perjalanan panjang yang tiada akhir yaitu kehidupan akhirat.

Salah satu diantara musim-musim tersebut adalah bahwa dalam satu tahun ada dua bulan (musim) yang didalam bulan tersebut amalan-amalan shaleh yang kita kerjakan lebih utama dibandingkan pada bulan-bulan lainnya, yaitu 10 hari pertama di bulan Dzulhijjah.

Ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits-hadits Nabi SAW banyak sekali yang menjelaskan tentang keutamaan amal ibadah yanh dikerjakan pada 10 hari pertama di bulan Dzulhijjah, antara lain Allah Ta’ala berfirman yang artinya:

“Demi fajar dam demi malam yang sepuluh.”

Dikatakan oleh Imam Ibnu Katsir malam sepuluh adalah 10 hari pertama dari bulan Dzulhijjah.

“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian dari padanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (Al-Hajj: 28)

Kedua ayat diatas dengan sangat jelas menerangkan keistimewaan 10 hari pertama pada bulan Dzulhijjah. Dan Nabi Muhammad SAW juga telah menjelaskan dalam sabdanya yang artinya:

Di riwayatkan oleh imam bukhori dari Ibn Abbas RA bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada hari yang mana amalan shaleh di dalamnya lebih dicintai oleh Allah SWT daripada 10 hari pertama di bulan Dzulhijjah. Lalu sahabat bertanya, walaupun jihad di sabilillah? Rasul Allah SAW menjawab, walaupun berperang di jalan Allah kecuali orang yang keluar berperang dengan (mengorbankan) dirinya dan hartanya kemudian tidak kembali sama sekali (meninggal).”

Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur’an maupun Hadits-Hadits Nabi SAW yang menjelaskan tentang keutamaan 10 hari pertama di bulan Dzulhijjah. Para Ulama mengatakan bahwasanya paling mulianya hari dalam satu tahun adalah 10 hari pertama dari bulan Dzulhijjah dan paling mulianya malam dalam satu tahun adalah 10 malam terakhir dari bulan Ramadhan.

Ulama mengatakan, “Barangsiapa memuliakan atau menghidupkan 10 hari pertama dari bulan Dzulhijjah dengan amalan-amalan ibadah maka Allah Ta’ala akan memberinya 10 keistimewaan, yaitu:

- Allah memberikan berkah pada umurnya;
- Allah menambah rizqinya;
- Allah menjaga diri dan keluarganya;
- Allah mengampuni dosa-dosanya;
- Allah melipatgandakan pahalanya;
- Di mudahkan keluarnya nyawa ketika dalam keadaan sakaratul maut; – Allah menerangi kehidupannya;
- Di beratkan timbangan kebajikannya;
- Terselamatkan dari semua kesusahannya;
- Di tinggikan derajatnya di sisi Allah Ta’ala.

Oleh karena itulah, bila kita mau menggunakan akal sehat untuk berfikir, alangkah rugi bila kita melewatkan saat-saat tersebut. Andaikan seorang pedagang pada 10 hari tersebut tokonya ramai dipenuhi pembeli, kemudian dia tidak akan menutup tokonya hingga larut malam bahkan akan menambah barang dagangannya dengan asumsi keuntungan yang besar di depan mata, padahal hal itu hanyalah keuntungan duniayang bernilai sangat kecil, bagaimana jika keuntungan yang akan di peroleh jauh amat besar yang dijanjikan oleh Dzat Yang Maha Besar, akankah kita lepaskan begitu saja?

Bisa kita bayangkan jika umur kita di beri keberkahan oleh Allah Ta’ala maka kehidupan kita sehari-hari akan di penuhi dengan amalan-amalan shaleh yang mempunyai nilai pahala besar, tidak berlalu satu waktu terkecuali terisi dengan proses pendekatan kepada Allah. Mata, telinga, mulut dan semua anggota tubuh kita berjalan dalam jalur ridha Allah. Semua hal tersebut karena keberkahan umur dan masih banyak lagi cerita-cerita tentang Salaf kita yang mana mereka telah mendapatkan karunia yang sangat besar yaitu barakah pada umurnya.

Dari mereka ada yang mengkhatamkan Al-Qur’an dalam waktu satu hari 8 khataman (4 di siang hari dan 4 di malam hari). Ini hanya satu uraian keistimewaan yang di peroleh bagi siapa yang menggunakan atau memaksimalkan waktu dan musim-musimnya untuk ibadah, padahal masih terdapat sembilan keistimewaan yang lain, renungkanlah !

Adapun amalan-amalan shaleh yang sangat di anjurkan oleh ulama untuk kita kerjakan pada 10 hari pertama pada bulan Dzulhijjah sangat banyak sekali di antaranya adalah shalat, puasa terutama puasa Tarwiyah dan Arafah serta banyak dzikir kepada Allah SWT.

Maka marilah wahai saudara-saudaraku, kita bersama-sama dengan penuh semangat untuk mengisi waktu-waktu kita dengan amalan-amalan shaleh yang telah di contohkan oleh pendahulu kita, Kaum Shalihin, orang yang sukses dalam kehidupan dunia dan akhiratnya dengan sebab menjalani perintah-perintah Allah SWT dan Rasul-Nya.

Sumber: Majalah Cahaya Nabawiy, No 67 Dzulhijjah 1429 H / Desember 2008 M di Zona Menyan

Jumat, 14 September 2012

Adab Murid Terhadap Guru


Adab Murid Terhadap Guru
Merujuk pada kitab Bidayatul Hidayah Imam Ghozali disebutkan bahwa ada banyak adab, etika didalamnya terutama bagi pelajar terhadap guru dan diantara keterangan itu disini akan ditulis alakadarnya saja.

Jika engkau seorang santri/murid, maka beradablah kepada gurumu dengan adab yang mulia sebab dengan adab ini keberkahan ilmu akan didapatkan. Betapapun Anda kesal terhadap pengajaran dn pembelajaran, etika ini harus dipegang. Adab-adab tersebut adalah;

  • Mendahului salam dan penghormatan kepadanya.
  • Tidak banyak berbicara di hadapannya.
  • Tidak berbicara sebelum guru bertanya dan tidak bertanya sebelum mohon izin darinya.
  • Tidak menyampaikan sesuatu yang menentang pendapatnya atau menukil pendapat ulama lain yang berbeda dengannya.
  • Tidak mengisyaratkan sesuatu yang berbeda dengan pendapatnya sehingga engkau merasa lebih benar darinya.
  • Tidak bermusyawarah dengan seseorang di hadapannya dan tidak banyak menoleh ke berbagai arah, tetapi sebaiknya engkau duduk di hadapannya dengan menundukkan kepala, tenang, penuh adab seperti saat engkau melakukan shalat.
  • Tidak banyak bertanya kepadanya saat dia lelah atau sedang susah.
  • Ikut berdiri ketika dia bangun dari duduk.
  • Tidak bertanya ketika ia di jalan sebelum sampai di rumah.
  • Tidak berburuk sangka kepada guru dalam tindakannya yang engkau anggap munkar secara lahir, karena pasti dia lebih memahami rahasia-rahasia dirinya sendiri.

Intisarinya bahwa kita sebagai pelajar/santri pasti menghormati guru dengan keilmuannya.

Tersebut pula pada permulaan kitab Ta’limul Muta’allim, Assyaikh Burhanul Islam Azzarnuji telah menulis:

“Maka apabila aku melihat para penuntut ilmu pada zaman sekarang ini (zaman Assyaikh Azzarnuji) bersungguh-sungguh kepada ilmu, dan mereka tidak sampai pula pada ilmu yang dipelajari (tidak mendapat manfaat dan hasilnya yaitu beramal dan menyebarkan), terhalang karena mereka telah salah jalan dan meninggalkan syarat-syaratnya. Dan setiap yang tersalah jalan akan sesat, dan tidak mendapati tujuan, sedikit maupun banyak. Maka aku ingin dan hendak menerangkan kepada mereka jalan menuntut ilmu….”

Seterusnya Assyaikh Azzarnuji, menyebutkan adab atau etika perjalanan, etika menuntut ilmu dari mulai niat pertama menuntut ilmu itu sendiri hingga kepada memilih guru dan teman seperjuangan. Pentingnya mengagungkan ilmu dan ulama, wara dan berbagai lagi jalan yang harus dilakukan dalam menuntut ilmu.

Di sebutkan pula kendala dan hambatannya menuntut ilmu dalam tulisan di atas tadi. Apabila didapati pada zaman kita sekarang, masih banyak (dan tentu lebih banyak lagi dari zaman Imam Zarnuji hampir 10 abad yang lalu) di kalangan kita orang yang mencari ilmu dengan bersungguh-sungguh, akan tetapi tidak mendapat faedah dari ilmunya, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk masyarakat. Malah hari ini banyak yang bukan dari aliran agama pun ingin belajar ilmu agama. Sangat baik memang keinginannya itu. Tetapi mengapa tidak didapati berkahnya?

Antara lain sebabnya adalah “tersalah jalan” itu sendiri, etika sopan santun dan beradab dalam menuntut ilmu sudah jarang diamalkan. Ingatlah wahai pelajar! Menuntut ilmu agama ini bukanlah sekedar hanya dengan mengumpulkan dan mengoleksi pengetahuan di otak saja. Karena jika demikian, maka harddisk PC jauh lebih alim dari kita semua. Sedangkan di dalam otak mengandung lebih dari 100 Gigabyte fail dari jutaan helaian kitab. Sudahkah kita menyimpannya dan berapa helai sudah didapati hafalan itu?

Bila kita igin tahu kesalahan jalan menuntut ilmu, maka ketahuilah bahwa salah jalan ini ada pada perkara-perkara yang telah disebutkan oleh Syaikh Azzarnuji. Tersebutkan dalam kitab Ta’limul Muta’allim, ada tiga perkara:

1) Niat
  • Berapa banyak di kalangan kita belajar karena ingin mudah bekerja dan mengumpul harta dunia nanti dengan sehelai ijazah?
  • Berapa banyak pula yang belajar untuk menunjukkan diri lebih alim dan pintar dari orang lain?
  • Berapa banyak pula yang belajar untuk menjadikan dirinya dipuji dan dihormati?
  • Berapa banyak pula di kalangan kita yang belajar untuk mencari-cari kesalahan ulama terdahulu?
  • Berapa banyak yang belajar untuk mencari bukti bahwa pendapat aku saja yang betul sedangkan amalan ummat Islam di seluruh dunia sebenarnya salah belaka?
  • Berapa banyak pula menutut ilmu tanpa diniatkan langsung untuk kembali ke tempat masing-masing bagi berjuang menegakkan Islam?


2) Memilih guru
  • Berapa banyak di kalangan kita yang tidak berhati-hati memilih guru lantas belajar dengan orang yang tidak betul pemikirannya?
  • Berapa banyak di kalangan kita yang belajar dengan guru yang tidak menjaga adab sebagai guru (mengutuk sana sini, mencerca alim ulama, tidak berakhlak dalam kata-kata maupun perbuatan dsb.)?
  • Berapa banyak di kalangan kita belajar sesuatu ilmu bukan dari ahlinya (belajar Fiqih dari tukang ukur, belajar hadits dari ahli bahasa dsb.)?
  • Lebih pelak lagi, berapa banyak pula yang belajar tanpa guru? Membaca sana dan sini, lalu mengambil faham sendiri daripada mengambil literatur tulisan para ulama.


3) Mengagungkan ilmu dan ulama
  • Berapa banyak dari kita yang mengetahui cara mengagungkan ilmu yang disebutkan oleh para ulama terdahulu?
  • Berapa banyak di kalangan kita yang tidak menghormati kitab ilmu?
  • Berapa banyak di kalangan kita yang meletakkan ilmunya sendiri di tempat yang rendah, lalu dengan gampang serampangan dijual-belikan dengan kepentingan dunia?
  • Berapa banyak pula yang tahu adab sebagai seorang murid tetapi tidak tahu atau tidak mempraktikkan adab kepada guru?
  • Berapa banyak yang tidak pula tahu membedakan antara meletakkan ilmu di tempat yang tinggi dengan takabbur atau menghina diri?
  • Berapa banyak pula tidak menghormati para ulama agung, lalu diletakkan ulama itu setaraf dengannya dalam pemikiran dan pemahaman dengan alasan mereka jua manusia yang tidak maksum?
  • Berapa banyak di kalangan kita yang terpengaruh dengan ucapan beberapa ustazd sekarang yang mencela dan dengan lantang mengkritik ulama silam, lalu merasa sangsi dengan para ulama itu?
  • Berapa banyak di kalangan kita yang bermulut latah mengutuk deretan ulama yang sudah lama mengorbankan diri untuk perjuangan Islam?
  • Berapa banyak pula yang bermulut latah terhadap para ulama terdahulu dan dengan sesuka hati mengatakan ulama terdahulu sesat, melakukan bid’ah, berfalsapah dalam bab Aqidah, dan pelbagai lagi kata nista?


Apabila kita nilai semula semua persoalan di atas, tentu sekali kita akan menjawab, “teralalu banyak.” Maka tidak heranlah apabila kita dapati terlalu banyak orang yang ingin mendalami ilmu agama, akan tetapi jauh tersasar dari kebenaran, berkah tiada, manfaat juga sirna, lalu tidak dapat menegakkan yang haq.

Jelaslah pada kita betapa pentingnya adab dalam menuntut dan menyebarkan ilmu. Tiada adab, niscaya tersalah jalanlah kita. Salah jalan bermakna sesat. Kalau orang yang belajar agama pun boleh sesat, bagaimana pula dengan yang tidak menginginkan agama.